[artiste manque]

NonTON aPA?

Posted in sosiokultura by noname on 18 Februari 2012

Menonton bersama keluargaWaktu itu sekitar jam 8 malam atau selepas Isya. Saya membeli pulsa di warung tetangga yang selain berjualan minuman ringan, obat-obat, camilan, rokok, dll sebagaimana kebanyakan warung/kios si tetangga ini juga jualan pulsa. Dia mempunyai dua ruangan; satu ruang untuk kios rokok dan teman-temannya dan satu lagi khusus untuk jualan pulsa dan aksesoris telpon genggam lainnya; ada gantungan hp, pulsa isi ulang, cassing hp, dll yang dipajang di etalase kaca seperti kebanyakan kios pulsa. Selain dua ruangan tersebut si tetangga ini juga punya satu ruangan lagi yang berada di depan. Bangunan kayu untuk tempat bensin dalam botol-botol bekas minuman Topi Miring.
Letak kedua kios tersebut agak terpisah dengan ruang tamu atau ruang keluarga. Biasanya si tetangga penjual pulsa ini dan lebih sering menanti si pembeli di ruang tamu atau ruang keluarga yang terdapat televisi-nya. Mungkin daripada bengong di kios lebih enakan sambil menonton televisi. Si tetangga ini baru keluar atau menuju kiosnya ketika ada pembeli. Bisa dikata kiosnya kerap kosong, daripada si empunya menungguinya. Untuk menemani dirinya saat menunggi kiosnya sebenarnya di kios pulsanya terdapat TV ukuran 14” dan ranjang yang biasa digunakan untuk bermalas-malasan anaknya yang masih SD.
Ketika ada yang beli (saya) si tetangga tanpa tergopoh-gopoh keluar dari ruang tamu. Habis menonton TV. Si tetangga ini melayani saya dengann cukup ramah. Mungkin karena saya sudah dianggap pelanggannya. Setelah mencatat nomor hp saya yang tidak pernah dihapalkannya, si tetangga tersebut bercerita atau lebih tepatnya menggerutu tentang kekesalannya yang sudah biasa dan tanpa ada rasa dendam; dirinya ingin lihat sinetron, sedang suaminya ingin menonton berita. Akhirnya tayangan televisi menjadi tayangan berita sesuai pilihan suaminya.
Peristiwa semacam itu begitu mudah dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Semacam ada perilaku perebutan tontonan. Bisa jadi pihak-pihak yang terlibat dalam perebutan tontonan tersebut: antara anak dengan ibunya, suami dengan istrinya, anak dengan ayahnya, atau semua penghuni dalam sebuah rumah masing-masing memiliki preferensi yang berbeda. Misalnya si istri ingin melihat sinetron di RCTI, anak perempuannya ingin melihat sinetron di SCTV, anak laki-lakinya ingin menonton tayangan Global TV, sedang suaminya ingin menonton berita di Metro TV. Jika salah satu pihak merasa kalah dalam hal persaingan tontonan bisa jadi akan meninggalkan ruang tersebut dan tepekur dengan kasur; tidur. Bagi si bapak/suami bisa jadi akan pergi ke pos ronda atau warung kopi. Ada banyak kemungkinan perebutan tayangan dalam sebuah keluarga. Kondisi ini jika sebuah keluarga dihuni oleh para anggota yang mengidap tv-mania secara akut. Ada buku menarik yang ditulis Kris Budiman menyangkut perilaku konsumsi televisi. Buku kecil tersebut berjudul “Di depan kotak ajaib: menonton televisi sebagai praktik konsumsi” terbitan Galang Press (2002). Buku kecil ini didasarkan pengamatan penulis pada beberapa keluarga; siapa yang berkuasa atas remote control televisi, siapa saja yang terlibat dalam arena perebutan tersebut, bagaimana ruang televisi ditata, dll.
Tentunya kondisi di atas tidak akan terjadi jika dalam sebuah keluarga memiliki televisi sesuai sejumlah kepala dalam keluarga, sehingga mnasing-masing dapat menentukan pilihan mana-suka. Hal semacam ini juga bisa dikata sudah semakin jamak dalam kehidupan sekarang, terutama di masyarakat kota. Bagi keluarga yang cukup punya biaya untuk membeli televisi sebanyak jumlah orang atau kamar dan membayar listrik. Gejala seperti ini bisa jadi dilandasi hak privasi yang dibangun dalam sebuah keluarga. Ciri masyarakat kaya modern.
Perempuan memilih sinetron, laki-laki memilih berita.
Sebenarnya saya tidak ingin menggeneralisir kalau ibu-ibu lebih menyuka tayangan sinetron dibanding berita (tentu bukan berita kabar-kabur selebriti), talkshow politik, atau acara olahraga yang penuh gelora. Ibu-ibu (remaja putri) lebih suka tayangan sinetron dan kabar-kabur selebritis, atau tayangan-tayangan yang menguras emosi melankolis. Sekali lagi tidak semua, namun punya kecenderungan tayangan-tayangan semacam itu. Sedang kaum laki-laki (bapak, suami, atau anak laki-laki) lebih suka dengan tayangan berita, olahraga, talkshow politik, atau film aksi yang mengumbar sisi fisikal yang heroik. Makanya dalam penentuan tayangan mana yang hendak ditonton terkadang ada semacam negosiasi atau strategi penguasaan remote control; bisa jadi yang pertama/lebih dulu pegang remote adalah yang berkuasa sebagai penentu tayangan apa yang akan dilahapnya. Atau bisa jadi ditentukan oleh “referendum” jumlah anggota yang terlibat. Jumlah yang kalah akan mengikuti; menonton tayangan yang menang referendum.
Katakanlah kaum perempuan lebih menyukai sinetron atau infotainment (istilah ini sering diperdebatkan karena tidak selaras dengan maknanya; informasi yang menghibur. Bukan dalam pengertian berita-berita tentang dunia selebritis sebagaimana kini jamak dipakai sekarang). Mengapa kaum perempuan lebih menyukai tayangan-tayangan semacam itu?
Bisa jadi preferensi tersebut karena kaum perempuan lebih banyak melakukan aktivitas keseharian dalam ruang yang sempit; di dalam rumah. Dalam artian kaum perempuan adalah ibu-ibu rumah tangga yang aktivitasnya sangat terbatas di dalam rumah dan kalaupun keluar rumah hanya sebatas warung di dekat rumah, pasar, dan main/berkumpul di rumah tetangga yang jaraknya juga tidak jauh dengan tempat tinggalnya. Aktivitas yang dilakukan adalah memasak, mencuci, mengasuh anak, belanja kebutuhan keseharian, dll. Di sini dapat dimaknai kaum perempuan berkubang dalam wilayah indoor.
Kondisi semacam itu menyebabkan kaum perempuan lebih banyak bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat sosial di mana peranan emosional dapat begitu dominan. Wilayah yang terbatas dapat dimaknai sebagai wilayah indoor. Indoor ruang spasialnya maupun indoor dalam diri. Di sini kaum perempuan lebih banyak menggunakan pertimbangan-pertimbangan emosional/psikologis dalam membangun hubungan, baik ketika mengasuh anak ataupun berhubungan dengan tetangganya saat berbelanja ataupun (kemudian) terjadi rumpi/bergosip. Jika asumsi ini benar maka hal ini menjadi benang merah antara aktivitas indoor-nya dengan tontonan yang dipilihnya. Seperti sinetron atau kabar-kabur dunia selebritis yang dapat mengaduk-aduk sisi emosional. Kenyataan ini dapat ditilik dalam kehidupan sehari-hari, di mana rumpian atau obrolan ibu-ibu membahas tentang perselingkuhan selebritis atau aneka perilaku selebritis lainnya. Tentunya ini bukan sesuatu yang ingin memojokkan perempuan, tapi tataran fakta sosial kerap kali tampak demikian.
Sedang kaum laki-laki identik dengan aktivitas outdoor. Aktivitas di luar rumah. Misalnya bekerja. Karena laki-laki, baik din negara berkembang ataupun maju, adalah tulang punggung keluarga. Laki-laki dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bekerja identik dengan aktivitas di luar rumah atau tempoat yang terpisah dengan tempat tinggalnya. Mereka harus bergegas ke kantor atau tempat kerjanya. Hal ini menjadikan ada ruang jeda antara antara aktivitas rumah keseharian dan aktivitas bekerja.
Dalam aktivitas kerja tersebut mereka berhubungan dengan orang-orang lain (sesama pekerja, majikan, klien, dll) yang mempunyai orientasi yang sama; mencari uang dan ada hierarkhi kekuasaan. Majikan atau bos tentu lebih berkuasa dibanding pekerja terlebih pada kondisi masyarakat yang memiliki banyak pengangguran. Bos atau pemilik usaha dapat sewenang-wenang dalam memperlakukan pekerja. Misalnya gajinya yang minim, waktu istirahat yang padat, waktu kerja yang panjang, dsb. Pemilik usaha dapat dengan semena-mena memecat atau memutus hubungan kerja dengan para pekerjanya yang sekiranya tidak lagi diinginkannya. Karena masih banyak orang lain yang dapat dengan mudah menggantikan posisi pekerja yang dipecat. Hal ini jika pemilik usaha mempunyai watak diktator dan otoriter. Maka pada hakikatnya dunia kerja adalah sebuah persaingan. Di sini dibutuhkan reputasi, loyalitas, strategi, dan mungkin kewaspadaan jika tidak ingin dibuang atau dipecat.
Penggambaran tersebut menjadi gambaran bagaimana dunia luar rumah adalah dunia yang penuh ancaman dan persaingan, berbeda dengan dunia rumah yang nyaman dan penuh kedamaian (idealnya). Dengan realitas hidup outdoor tersebut menjadikan laki-laki merasa berkepentingan untuk mengetahui fenomena sosial, ekonomi, politik, dan keamanan/hukum. Karena dunia kerja bukanlah dunia yang independen, namun dependen dengan kondisi sosekpolkam yang berkembang. Misalnya rencana kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah dapat berimbas pada produktivitas industri. Tentu dengan kenaikan harga BBM tersebut akan berakibat pada dirinya dengan semakin mahalnya ongkos transportasi. Atau terjadinya krisis ekonomi di Eropa apakah akan berdampak pada pesanan barang produksi (ekspor) dalam negerin tidak. Jadi dunia kerja bukan dunia yang independen.
Dari segi obrolan antar para pekerja, tidak jarang masalah-masalah sosekpolkam juga menjadi menu utama. Bukan berita-berita selebritis yang begitu laris manis. Kondisi ini mnenuntut kaum laki-laki juga sedikit-sedikit tahu tentang masalah-masalah tersebut agar tidak terlihat bengong dan minim referensi.
Tidak sedikit juga kaum laki-laki yang cenderunga antipati untuk membiacrakan hal-hal sosekpolkam. Baginya tidak guna dan hanya membuat pusing semata-mata, maka lebih baik tidak usah dibicarakan. Begitu juga dengan kaum perempuan, tidak sedikit juga yang sangat alergi terhadap tayangan-tayangan sinetron dan kabar gosip selebritis yang tidak mencerdaskan penontonnya.
Hari ini bekerja tidak harus secara formal berada di kantor yang jauh dari rumah. Rumah dapat dijadikan tempat kerja yang nyaman dan mendatangkan penghasilan. Begitu juga dengan kaum perempuan, sekarang pengasuhan anak dapat dipercayakan kepada babysitter, masak, mencuci, dan sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dapat dilakukan oleh pembantu. Sedang para ibu-ibu beraktivitas di luar rumah; bekerja.
Perubahan aktivitas apakah akan berpengaruh pada preferensi tontonan televisi? Masi kita ikuti realitas ini berjalan dengan kaki-kakinya yang digerakkan oleh para penghuni bumi ini.

sumber foto:
http://www.uniknya.com/2012/01/04/tahukah-kamu-teve/
http://annida-online.com/artikel-1071-lelaki-di-depan-teve.html

Tagged with: , ,

Tinggalkan komentar